Yuk, Kenali Apa itu Duck Syndrome yang Kerap dialami Milenial dan Generasi Z!
Sobat Souja, kita kerap menyangka bahwa seseorang yang meraih kesuksesan baik secara finansial maupun berbagai pencapaian hidupnya akan merasa bahagia menikmati keberhasilannya. Namun, siapa sangka dibalik keberhasilannya tersebut, nyatanya ada tekanan atau segudang masalah yang ditutupi, agar ia selalu terlihat baik-baik saja. Nah, kondisi ini disebut duck syndrome. Melansir Aladokter, Duck syndrome atau sindrom bebek pertama kali dikemukakan di Stanford University, Amerika Serikat, untuk menggambarkan persoalan para mahasiswanya.
Istilah ini menganalogikan bebek yang berenang seolah sangat tenang, tetapi kakinya berjuang keras untuk bergerak agar tubuhnya tetap bisa berada di atas permukaan air. Hal tersebut dikaitkan pada kondisi di mana seseorang yang terlihat tenang dan baik-baik saja, tetapi sebenarnya ia mengalami banyak tekanan dan kepanikan dalam mencapai tuntutan hidupnya, misalnya nilai bagus, lulus cepat, atau hidup mapan, atau memenuhi ekspektasi orang tua dan orang di sekitarnya. Lantas, apa saja tanda seseorang mengalami Duck Syndrome? Simak beberapa ciri - cirinya, yuk!
- Selalu ingin sempurna dengan membandingkan diri bahwa orang lain lebih baik
- Sulit merasa tenang, kelelahan, gugup dan sulit tidur
- Kesepian dan rendah diri
- Merasa kerap gagal dan tidak bisa mengendalikan sesuatu
- Sulit fokus, pelupa, cemas dan berbagai perubahan perilaku mengarah kepada tindakan depresif
Persaingan hidup, misalnya dalam soal akademik, bisnis, dan pekerjaan, merupakan bagian dari kehidupan yang tak bisa dipungkiri. Namun, bukan berarti hal tersebut boleh dijadikan alasan bagimu untuk mengabaikan kesehatan mentalmu, lho. Ingatlah bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan semua orang memiliki perjuangannya masing-masing. Jika kamu merasa mengalami duck syndrome, apalagi jika sudah merasakan gejala psikologis tertentu, seperti ingin bunuh diri, cemas setiap waktu, tidak bisa berpikir jernih, atau sulit tidur, jangan ragu berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapatkan pertolongan.
Sumber: Aladokter dan IDN Times